PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN EKONOMI SYARIAH
Oleh : Intan Sukmasakti Suwarno Putri, S.Hi., MH
(Karyawan Pengadilan Agama Sidoarjo)
Berkembangnya sistem ekonomi syariah kini dirasa semakin kompetitif dan inovatif. Pasalnya, bukan hanya banyak negara berlomba-lomba mempraktikkan ekonomi syariah, namun juga semakin beragamnya instrumen keuangan syariah di Lembaga Keuangan Syariah. Mulai dari bank syariah, asuransi syariah, dan pasar modal syariah. Praktik ekonomi syariah yang semakin berkembang di berbagai belahan dunia, sedikit demi sedikit telah membawa perkembangan juga terhadap instrumen hukumnya. Dimana pada awalnya belum ada instrumen hukum ekonomi syariah, kini telah dibuat berbagai produk hukum ekonomi syariah.
Salah satu produk hukum yang diilhami dari praktik ekonomi syariah di Indonesia adalah lahirnya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Sejak berdirinya bank syariah di Indonesia tahun 1992, pemerintah telah membuat peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Perbankan Syariah. Kini, Perbankan Syariah diatur dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Seperti yang tertera dalam Undang-Undang tersebut, kita mengetahui bahwa di Indonesia berlaku dua sistem perbankan, yaitu sistem konvensional dan sistem syariah. Dalam undang-undang tersebut diatur secara rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Dengan semakin berkembangnya Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia, maka kemungkinan akan terjadinya perselisihan antara lembaga keuangan syariah dan nasabahanya akan semakin besar.[1]
Kepailitan
Kata pailit berasal dari bahasa Perancis failite yang berarti kemacetan pembayaran. Dalam bahasa Belanda menggunakan istilah failliet. Sedang dalam hukum Anglo America, undang-undangnya dikenal dengan Bankcrupty Act.[2] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pailit diartikan dengan bangkrut. Kepailitan adalah keadaan atau kondisi seseorang atau badan hukum yang tidak mampu lagi membayar kewajibannya (dalam hal utang-utang) kepada si piutang.[3] Sedangkan menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas.[4] Pernyataan pailit tersebut harus melalui proses pemeriksaan di pengadilan setelah memenuhi persyaratan di dalam pengajuan permohonannya.[5]
Pailit merupakan suatu keadaan yakni debitur tidak mampu untuk membayar hutang-hutangnya kepada para kreditor. Ketidak mampuan untuk membayar umumnya dikarenakan kesulitan keuangan atas usaha debitur yang telah mengalami kemunduran. Sedangkan kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitur pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitur pailit tersebut secara proporsional dan sesuai dengan struktur kreditor.[6]
Terminologi kepailitan sering keliru dipahami oleh kalangan umum. Sebagian dari mereka menganggap kepailitan sebagai vonis yang identik dengan tindakan kriminal serta merupakan suatu cacat hukum atas subjek hukum, karena itu kepailitan harus dijauhkan serta dihindari sebisa mungkin. Kepailitan secara apriori dianggap sebagai kegagalan yang disebabkan karena kesalahan dari debitur dalam menjalankan usahanya sehingga menyebabkan utang tidak mampu dibayar. Oleh karena itu, kepailitan sering diidentikkan sebagai penyemplangan utang atau penggelapan terhadap hak-hak yang seharusnya dibayarkan kepada kreditor. Kartono menyatakan, bahwa kepailitan memang tidak merendahkan martabatnya sebagai manusia, tetapi apabila ia berusaha untuk memperoleh kredit, disanalah baru terasa baginya apa artinya sudah pernah dinyatakan pailit. Dengan perkataan lain, kepailitan mempengaruhi credietwaardigheidnya dalam arti yang merugikannya, ia tidak akan mudah mendapatkan kredit.[7]
Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitur, dimana debitur tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utang tersebut kepada para kreditornya.[8]
Penyelesaian Sengketa Kepailitan Ekonomi Syariah
Penyelesaian sengketa dalam ekonomi syariah dapat ditempuh melalui jalur litigasi dan non litigasi. Jalur litigasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses persidangan di dalam pengadilan, sedangkan non litigasi adalah penyelesaian sengketa tanpa melalui persidangan yaitu di luar pengadilan. Hal ini berdasarkan Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Kemudian dalam ayat (2) dinyatakan bahwa dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad.[9] Jadi setelah adanya putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012, penyelesaian sengketa perbankan syariah secara litigasi ditangani oleh Pengadilan Agama, sedangkan secara non litigasi ditangani oleh arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa lainnya. Arbitrase dalam hal ini adalah Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sedangkan alternatif penyelesaian sengketa lainnya diselesaikan melalui kesepakatan penyelesaian sengketa yang didasarkan pada iktikad baik.[10]
Apabila merujuk pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dinyatakan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.[11] Jika perkara yang dimaksudkan adalah perkara kepailitan ekonomi syariah, maka pengadilan yang dimaksud dalam Undang-Undang ini adalah Pengadilan Agama. Sebab hal ini sesuai dengan yang diamanatkan Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama, yang menyatakan bahwa kewenangan dan tugas untuk memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara orang-orang yang beragama Islam, termasuk diantaranya adalah perkara ekonomi syariah diberikan kepada Pengadilan Agama.[12] Berdasarkan pemaparan analisa tersebut dapat disimpulkan bahwa sengketa kepailitan ekonomi syariah hanya dapat diselesaikan melalui jalur litigasi, sebab status pailit seorang debitur hanya dapat diperoleh melalui putusan Pengadilan Agama.
Keberadaan peradilan perdata bertujuan untuk menyelesaikan perkara yang timbul di antara anggota masyarakat. Perkara yang terjadi memiliki bentuk yang beragam; ada yang berkenaan dengan pengingkaran atau pemecahan perjanjian, perbuatan melawan hukum, sengketa hak milik, perceraian, pailit, penyalahgunaan wewenang oleh penguasa yang merugikan pihak tertentu, dan lain sebagainya. Timbulnya perkara-perkara tersebut ketika dihubungkan dengan keberadaan peradilan perdata, menimbulkan permasalahan kewenangan mengadili yang disebut yurisdiksi atau kompetensi, yaitu kewenangan suatu lembaga peradilan dalam mengadili perkara tertentu sesuai dengan ketentuan yang digariskan oleh peraturan perundang-undangan.[13]
Sepanjang dalam ranah hukum perdata yaitu sengketa ekonomi syariah, termasuk di dalamnya mengenai kepailitan yang semula akadnya berdasarkan hukum Islam, maka tetap menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Jika menyangkut persoalan pidana, peradilan umumlah yang berwenang untuk menyelesaikannya. Berkaitan dengan pihak-pihak yang berperkara, baik muslim maupun nonmuslim, jika sudah mengadakan akad syariah maka pihak nonmuslim harus tunduk pada UU yang ada. Hal ini berarti mereka telah menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam. Maka dapat disimpulkan bahwa subjek hukum yang terlibat dalam sengketa ekonomi syariah terikat dengan dua asas, yaitu asas personalitas dan asas penundukan diri. Asas personalitas diaplikasikan untuk akad yang dilangsungkan antara sesama orang Islam, sedangkan asas penundukan diri diperuntukkan bagi akad antara orang Islam dan nonmuslim.
Uraian mengenai penyelesaian perkara sengketa ekonomi syariah yang menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama, maka Pengadilan Negeri sudah tidak ada kewenangan untuk menyelesaikan sengketa bisnis syariah. Oleh sebab itu, perbankan syariah yang selama ini masih memasukkan perjanjian sengketa dengan memasukkan Pengadilan Negeri sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam eksekusi harus ditinjau kembali.[14]
Penyelesaian sengketa kepailitan ekonomi syariah hanya dapat diselesaikan oleh Peradilan Agama berdasarkan amanat Undang-undang yang ada. Khusus mengenai perkara Pernyataan Permohonan Pailit (PPP) dan Perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama, hukum acara yang berlaku tidak sepenuhnya menggunakan hukum acara yang berlaku di pengadilan negeri dan tidak juga sepenuhnya menggunakan hukum acara yang secara khusus berlaku di pengadilan agama, tetapi secara khusus menggunakan hukum acara yang diatur menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.[15]
Upaya hukum yang dapat dilakukan dalam perkara kepailitan dan/atau penundaan kewajiban pembayaran utang adalah kasasi ke Mahkamah Agung. Dalam perkara ini tidak dikenal dengan upaya hukum banding di Pengadilan Tinggi Agama.
Pihak-pihak yang Berwenang Mengajukan Kepailitan
Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, diatur mengenai pihak-pihak mana saja yang berwenang dalam mengajukan kepailitan. Selain itu juga terdapat syarat-syarat dalam pengajuan perkara kepailitan. Pihak-pihak yang berwenang untuk mengajukan perkara kepailitan diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), sebagai berikut:
- Dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitur yang masih terikat dalam pernikahan yang sah, permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istrinya.
- Ketentuan seperti pada poin a tidak berlaku apabila dalam pernikahan itu tidak ada persatuan harta antara suami dan istri.
Sedangkan syarat-syarat dalam pengajuan kepailitan diatur dalam Pasal 2, yaitu sebagai berikut:
- Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu hutang yag telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
- Permohonan dapat diajukan juga dapat diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum.
Daftar Pustaka
Mardani, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama, 2011.
M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan, Jakarta: Kencana, 2008.
Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, Malang: UMMPress, 2012.
Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2009.
Ahmad Mujahidin, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010.
Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama, Depok: Gramata Publishing, 2010.
Nurul Hak, Ekonomi Islam Hukum Bisnis Syariah, Yogyakarta: Teras, 2011.
Undang-undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Undang-undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama.
https://kbbi.web.id/pailit akses tanggal 20 Desember 2017.
M. Auritsniyal Firdaus, “Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Pasca Putusa MK Nomor 93/PUU-X/2012” dalam https://www.kompasiana.com/aurits/ penyelesaian-sengketa-perbankan-syariah- pasca-putusan -mk-nomor-93-puu-x2012_5584120e1eafbdd7098b 4567 akses tanggal 16 Desember 2017.
[1] Mardani, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia (Bandung: PT. Refika Aditama, 2011), hlm. 97.
[2] Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan (Malang: UMM Press, 2012), hlm. 4.
[3] https://kbbi.web.id/pailit akses tanggal 20 Desember 2017.
[4] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
[5] Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 71.
[6] M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 1.
[7] Ibid., hlm. 2.
[8] Ibid.
[9] Pasal 55 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
[10] M. Auritsniyal Firdaus, “Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Pasca Putusa MK Nomor 93/PUU-X/2012” dalam https://www.kompasiana.com/aurits/penyelesaian-sengketa-perbankan -syariah-pasca-putusan-mk-nomor-93-puu-x-2012_5584120e1eafbdd7098b4567 akses tanggal 16 Desember 2017.
[11] Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
[12] Pasal 49 huruf (i) Undang-undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama.
[13] Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama (Depok: Gramata Publishing, 2010), hlm. 117.
[14] Ahmad Mujahidin, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 97.
[15] Ibid., hlm. 89.